PaketSEHATI (sejahtera, harmoni dan tertib) yang mengusung Kristofel A. Praing sebagai calon Bupati dan David Melo Wadu sebagai calon wakil Bupati Sumba Timur, NTT (Jumat,04/09/2020 ) sekitar pukul 15.45 WITA mendatangi KPU Sumba Timur. Title Masyarakat Sumba dan adat istiadatnya. Author. U. H. Kapita. Publisher. Panitia Penerbit Naskah-Naskah Kebudayaan Daerah Sumba, Dewan Penata Layanan Gereja Kristen Sumba, 1976. Original from. the University of California. Digitized. KeluargaRizky Billar dan Lesty Kejora sudah bertemu. Demikianlahpenjelasan dan sejarah lengkap mengenai Rumah Adat Nusa Tenggara Timur yang telah kami rangkum khusus untuk anda. Tentunya anda dapat menjadikan rangkuman tersebut sebagai referensi utama untuk mempelajari keunikan Rumah Adat NTT yang sangat menarik dan menambah wawasan anda mengenai kekayaan budaya Indonesia Opentrip Sumba 4D3N – Merupakan sebuah tour Sumba yang memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk mengunjungi destinasi – destinasi terbaik di Pulau Sumba dengan durasi 4 hari perjalanan. Paket tour dengan konsep Open trip / trip gabungan di tahun 2022 dengan minimal 2 peserta untuk join dan ditujukan untuk explore Sumba dengan fasilitas premium dari kami. hFbYkZb. Sumba adalah salah satu pulau yang terletak di bagian selatan Indonesia yang sangat terkenal akan keindahan alam, adat istiadat serta budayanya. Tak heran, keindahan alam dan tradisi yang masih sangat kental menjadikan Pulau yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini menjadi target para wisatawan baik wisatawan domestik bahkan keunikan tradisi Pulau ini yang pastinya akan membuat pengunjungnya terheran-heran jika berkunjung ke Pulau Sandlewood Tradisi cium Maramba Tradisi unik yang bisa ditemukan ketika berkunjung ke Pulau Sumba adalah tradisi cium hidung atau "pudduk" dalam bahasa Sumba Timur. Tradisi ini merupakan tradisi yang sudah diwariskan turun temurun oleh leluhur orang cium hidung bagi Orang Sumba merupakan simbol kekeluargaan dan persahabatan yang sangat dekat. Selain itu, jika ada pihak yang berseteru dan ingin berdamai, maka akan dilakukan cium hidung yang merupakan simbol cium hidung dilakukan dengan cara menempelkan dua hidung yang mengisyaratkan bahwa dua individu seakan sangat dekat dan tidak ada tradisi cium hidung ini sudah menjadi adat istiadat dan kebiasaan bagi Orang Sumba, namun tradisi ini tidak dapat dilakukan pada sembarang tempat dan waktu. Tradisi ini dapat dilakukan hanya dalam acara-acara tertentu, seperti saat proses pelaksanaan tradisi perkawinan, pesta pernikahan, ulang tahun, hari raya besar keagamaan, pesta adat, kedukaan dan acara samping itu juga saat penerimaan tamu-tamu yang dianggap terhormat atau agung yang berasal dari wilayah Sumba sendiri. Lantas, bagaimana dengan tamu-tamu yang berasal dari luar Pulau Sumba? Tentunya boleh dilakukan tradisi ini, asalkan ada pemberitahuan terlebih Tradisi makan sirih Naha Tarap Bagi Orang Sumba, tradisi makan sirih pinang atau "happa" dalam Bahasa Sumba Timur merupakan lambang kekerabatan dalam pergaulan sehari-hari bahkan dalam berbagai acara seperti perkawinan dan kematian serta acara ini dilakukan dengan cara mengunyah buah pinang, sirih, dan kapur yang akan menyebabkan gigi dan mulut berwarna kemerahan. Jangan heran ketika anda berkunjung atau bertamu ke rumah penduduk orang Sumba, kamu akan disuguhkan sirih pinang yang merupakan simbol penghormatan dan orang yang disuguhkan sirih pinang tersebut harus menerima suguhan itu, walaupun nanti diberikan kepada orang lain, dibawa pulang atau ditinggalkan pada tuan rumah atau untuk menghargai tuan rumah bisa juga dimakan tanpa kapur supaya mulut tidak berwarna itu, sirih pinang juga menjadi lambang komunikasi dengan arwah leluhur yang sudah meninggal serta sering disuguhkan dalam beberapa acara penting, seperti adat perkawinan dan kematian. Makanya tidak jarang ketika berkunjung ke Pulau Sumba, kita akan melihat orang Sumba akan meletakkan sirih pinang di atas kuburan keluarga dan kerabat mereka yang mereka kunjungi sebagai tanda sapaan dan komunikasi dengan arwah keluarga atau kerabat yang sudah meninggal itu. Tradisi yang sangat unik tentunya. Baca Juga 10 Alasan Pilih Kampung Prai Ijing sebagai Tujuan Wisata Budaya Sumba 3. Tradisi "nyale" dan pasolaflickr/mshwaikoNyale atau mencari cacing laut adalah tradisi yang wajib dilakukan untuk mendahului tradisi Pasola. Dikutip dari Wikipedia Indonesia tradisi nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut/nyale keluar di tepi pantai. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan tradisi nyale dilakukan pada malam hari, maka pada keesokan harinya akan diadakan tradisi Pasola. Pasola adalah atraksi menunggang kuda dan dilakukan saling melempar tombak antar dua kelompok yang yang digunakan juga bukan tombak yang tajam, namun tetap saja akan ada yang terluka, entah kuda tunggangan ataupun para peserta pasola. Jika dalam tradisi itu ada peserta pasola yang terluka dan ada darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan terjadi kematian dalam tradisi ini, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan Tradisi Palekahelu Belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak pria kepada pihak wanita. Belis dalam adat Orang Sumba bisa berupa ternak seperti kuda dan kerbau. Besarnya belis seorang Wanita Sumba biasanya tergantung kesepakatan antara kedua belah yang akan dinikahi adalah wanita dengan status sosial tinggi, maka hewan yang diberikan mencapai 30 ekor. Untuk rakyat biasa sekitar 5-15 ekor, dan untuk golongan yang lebih bawah lagi disebut dengan hamba atau ata dibayar oleh tuan disebut maramba itu, penyerahan belis juga dapat berupa mamuli. Mamuli adalah perhiasan yang biasanya terbuat dari emas. Mamuli sendiri memiliki simbol gambaran rahim atau simbol kemampuan reproduksi wanita. Kemudian, pihak wanita akan membalas pemberian pihak pria tersebut dengan ternak berupa babi, sarung dan kain khas itu, pihak wanita pun harus menyiapkan perhiasan dikenal dengan hada dalam Bahasa Sumba Timur, sarung, dan perlengkapan rumah tangga untuk anak gadis mereka. Bahkan pihak wanita yang berasal dari garis keturunan bangsawan biasanya memberikan hamba atau dikenal dengan dengan "ata pada anak gadis ini menjadi kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan dan tentunya akan mempengaruhi jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Biasanya ketika seorang gadis Sumba membawa hamba/ata dari keluarganya, maka jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pun semakin Upacara kematian "marapu"flickr/Fery JombloDi Pulau Sumba, dalam upacara kematian masih syarat dengan kepercayaan kepada roh nenek moyang atau lebih dikenal dengan "marapu". Upacara kematian marapu dapat memakan biaya yang sangat mahal karena dibutuhkan banyak ternak untuk disembelih selama prosesi berlangsung seperti kuda, kerbau, dan upacara kematian ini harus ditunda bertahun-tahun lamanya dengan maksud agar keluarga mampu menyiapkan biaya untuk melangsungkan prosesi tersebut dan juga untuk mengumpulkan semua keluarga dari tempat jauh untuk menghadiri prosesi upacara kematian heran jika mayat orang yang meninggal ditaruh dalam peti atau dikenal dengan kabbang dan disemayamkan selama bertahun-tahun sampai tiba saatnya keluarga siap melaksanakan prosesi upacara hari pelaksanaan prosesi upacara kematian dan pemakaman, keluarga yang diundang akan berkumpul dan membawa berbagai ternak seperti babi, kuda, kerbau, sarung, dan kain khas ini berdasarkan hubungan keluarga dengan orang yang meninggal, misalnya seorang anak perempuan yang sudah menikah akan membawa kuda atau kerbau ketika ayahnya meninggal, kemudian sebagai balasannya setelah pemakaman selesai, anak perempuan itu akan diberikan babi untuk dibawa Sumba, penganut kepercayaan marapu juga memakamkan jenazah dalam batu megalitikum dengan posisi seperti janin dalam rahim atau dikenal dengan pahandiarangu. Namun, seiring perkembangan jaman, pada saat ini hampir jarang ditemukan jenazah dikuburkan dalam posisi seperti ini, yang ditemukan adalah jenazah ditaruh di dalam peti dan dikuburkan kedalam kuburan yang terbuat dari Tradisi kawin antara "anak om dan anak tante" sepupuan diperbolehkan seputarpernikahan/Dwi Putra SejiwaSatu hal lagi yang cukup unik dari Orang Sumba adalah mengenai tradisi perkawinan sedarah antara "anak om dan anak tante" sepupuan yang diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan. Tradisi ini dilakukan dengan tujuan agar semakin mempererat hubungan anak laki-laki dari seorang perempuan Sumba boleh menikahi anak gadis dari saudara laki-lakinya. Pada umumnya, perkawinan sedarah merupakan hal yang tidak wajar bagi kebanyakan orang, namun menjadi wajar dan sah-sah saja bagi orang ini bukanlah menjadi suatu kewajiban yang harus ditaati oleh orang Sumba. Namun jika ada hubungan antara "anak om dan anak tante" sepupuan yang sedang terjalin, maka bagi orang Sumba hubungan tersebut sangat Tradisi "pahillir"flickr/mshwaikoTradisi unik lain orang Sumba yang belum terlalu diketahui oleh orang banyak adalah "tradisi Pahillir" atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan "tradisi menghindar".Tradisi ini merupakan larangan keras yang tidak memperbolehkan "anak mantu perempuan dan ayah mertuanya atau anak mantu laki-laki dan ibu mertuanya" atau "istri ipar dan anak mantu laki-laki" berkomunikasi apalagi bersentuhan secara langsung, bahkan barang-barang milik masing-masing pun tidak boleh Orang Sumba hal tersebut adalah "tabu" dan tidak pantas dilakukan, sehingga ketika mereka bertemu, maka mereka harus "menghindar" atau dalam Bahasa Sumba Timur dikenal dengan istilah pahilir. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk menghindari kontak langsung antara mertua dengan menantu yang berbeda jenis kelamin, biasanya aktivitas dilakukan melalui kalau terpaksa terutama ketika tidak ada perantara, misalnya untuk melayani makan minum maka biasanya anak mantu menyimpannya di tempat yang bisa dilihat oleh ayah atau ibu mertuanya yang pahilir, lalu biasanya ayah/ibu mertuanya mengerti bahwa itu untuk dari tradisi "pahilir" adalah perlu adanya jarak dalam relasi sehingga tidak memicu hubungan-hubungan yang tradisi unik orang Sumba yang membuat mereka spesial. Pastikan kamu menemui tradisi-tradisi ini, ya kalau main ke Sumba. Biar liburanmu makin berkesan! Baca Juga 5 Hal Penting Ini Harus Kamu Perhatikan Sebelum Liburan ke Sumba IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis. Nusa Tenggara Timur NTT telah lama dikenal sebagai salah satu sentra penghasil aneka tenunan yang bahkan terkenal hingga mancanegara. Namun tak hanya kaya akan tenunan, provinsi yang beribukotakan Kupang ini juga memiliki ragam pakaian adat yang berasal dari berbagai suku. Setiap suku menawarkan kekhasan dan keunikan pada pakaian adatnya. Artikel ini mengulas berbagai jenis pakaian adat NTT dari masing-masing suku yang ada di wilayah tersebut beserta aksesorisnya. Ragam busana adat tersebut dilengkapi dengan foto atau gambar dan penjelasannya. Jenis-jenis Pakaian Adat NTT 1. Pakaian Adat Suku Rote2. Pakaian Adat Suku Sabu3. Pakaian Adat Suku Helong4. Pakaian Adat Suku Dawan5. Pakaian Adat Suku Sumba6. Pakaian Adat Suku Manggarai7. Pakaian Adat Suku Lio8. Pakaian Adat Suku Sikka9. Pakaian Adat Suku Kabola10. Pakaian Adat Suku Abui 1. Pakaian Adat Suku Rote Pakaian adat suku Rote, sumber Suku Rote adalah suku asli yang mendiami pulau Rote di Nusa Tenggara Timur dan juga beberapa pulau disekitarnya. Jauh sebelum mengenal kapas, masyarakat tradisional Pulau Rote telah menggunakan serat gewang untuk ditenun menjadi bahan pakaian yang akan mereka kenakan. Ketika pewarna kain modern belum dikenal secara luas, masyarakat Rote menggunakan bahan-bahan alami untuk mewarnai tenun ikatnya. Pewarna yang mereka gunakan berasal dari kunyit, tarum Indigofera tinctoria, dan juga akar mengkudu. Warna-warna yang digunakan pada tenun ikat Rote pada waktu itu juga masih terbatas pada warna-warna dasar. Kini tenun ikat Rote telah mengalami berbagai perubahan seperti menggunakan kapas sebagai bahan dasarnya, dan juga menggunakan pewarna tekstil dari industri. Hasilnya adalah corak dan warna tenun ikat Rote yang semakin beragam. Tak hanya sebagai hiasan dan corak, motif yang ada pada tenunan menunjukkan daerah asal penghasil tenunan. Bermacam motif pada tenunan Rote umumnya diambil dari tumbuhan dan binatang yang banyak di temui di provinsi ini. Kain tenun ikat berupa sarung disebut lambi tei sedangkan tenunan selimut dinamakan lafe tei. Kain tenun inilah yang kemudian menjadi pakaian adat suku Rote. Pakaian tradisional yang umum dikenakan kaum pria suku Rote adalah berupa kemeja legan panjang dengan warna putih polos. Sebagai pasangannya untuk bagian bawah adalah sarung tenunan berwarna gelap khas pulau Rote. Sarung tenun ini dikenakan hingga menutupi separuh bagian betis dan sebuah golok diselipkan pada bagian depan pinggang. Pada bahu disampirkan kain tenun lainnya yang berukuran lebih kecil seperti selendang. Ti’i Langga, sumber Pakaian ini dilengkapi juga dengan topi untuk kaum pria yang dikenal dengan nama Ti’i langga. Topi yang memiliki bentuk melingkar lebar di sekelilingnya dengan bagian tengah menjulang tinggi ini terbuat dari daun lontar kering. Konon topi yang terbuat dari daun lontar ini melambangkan sikap orang Rote yang dikenal keras. Tak hanya dipakai oleh kaum pria, para wanita Rote juga memakai Ti’i Langga saat membawakan tarian tradisional Foti. Untuk pakaian adat kaum perempuan, suku Rote menggunakan tenun yang dibentuk seperti kemben atau kebaya pendek. Sementara bagaian bawah juga mengenakan tenun ikat. Hiasan kepala berupa lempengan yang terbuat dari perak, emas, atau perunggu yang berbentuk bulan sabit dengan tiga buah bintang pada sisi kiri kanan dan tengahnya. Hiasan kepala ini disebut bulak molik yang artinya bulan baru. Tambahan aksesoris lainnya adalah berupa gelang, anting, ikat pinggang yang disebut pending dengan motif hiasan bunga atau hewan unggas, dan juga kalung susun yang sangat khas atau biasa disebut habas oleh masyarakat setempat. 2. Pakaian Adat Suku Sabu Tenunan Hii Hawu, sumber Suku Sabu mendiami pulau Sawu dan pulau Raijua di Nusa Tenggara Timur. Penduduk pulau Sabu menyebut tanah mereka sebagai rai hawu yang memiliki arti tanah dari Hawu’, dan menyebut diri mereka sebagai Do Hawu atau orang Hawu’. Suku Sabu memiliki tenun ikat yang diolah menjadi sarung yang mereka sebut hii hawu, dan selimut atau higi huri. Motif tenunan Sabu adalah flora, fauna, dan geometris. Sedangkan warna yang sering digunakan untuk tenunan ikatnya adalah warna-warna seperti cokelat kemerahan dan biru. Pakaian adat suku Sabu, sumber Pakaian adat sehari-hari untuk kaum pria suku Sabu hampir serupa dengan Suku Rote, yakni terdiri dari kemeja putih lengan panjang, kain tenun sebagai penutup tubuh bagian bawah, dan kain tenun berukuran lebih kecil yang disampirkan pada bahu. Sedangkan bila hendak dipakaikan pada pengantin pria, pakaian ini ditambah dengan berbagai aksesoris. Sebagai hiasan kepala, pria mengenakan destar dan mahkota yang terbuat dari emas dengan tiga tiang. Aksesoris pelengkap lainnya adalah berupa kalung, sabuk dengan dua buah kantong, dan gelang emas. Sementara pakaian adat kaum wanita sehari-hari adalah berupa kebaya pendek dengan bawahan berupa sarung tenun yang dililit dua kali. Dalam pakaian adat sehari-hari kaum perempuan Sabu tidak mengenakan aksesoris. Sedangkan untuk pengantin wanita, pakaian adat yang dikenakan dilengkapi dengan berbagai aksesoris. Untuk pakaiannya berupa kain tenun yang bersusun dua dililitkan ke pinggul dan dada menyerupai kemben. Aksesoris yang dikenakan adalah ikat pinggang, gelang emas dan gading, kalung dan liontin, serta anting/giwang. Selanjutnya hiasan kepala berupa tusuk konde berbentuk uang koin emas disematkan pada rambut yang disanggul berbentuk bulat tinggi di atas kepala. 3. Pakaian Adat Suku Helong Pakaian adat suku Helong, sumber Suku Helong adalah salah satu penduduk asli Pulau Timor Nusa Tenggara Barat. Suku ini juga memiliki pakaian adatnya sendiri. Pakaian adat suku Helong untuk pria adalah berupa kemeja atau baju bodo. Sedangkan sebagai bawahan berupa kain yang diikatkan ke pinggang berbentuk selimut. Untuk ikat kepala adalah berupa destar. Selain itu mereka juga mengenakan kalung atau habas sebagai hiasan leher. Sementara pakaian adat kaum perempuan berupa kebaya ataupun kemben. Sebagai penutup bagian bawah adalah berupa kain tenun yang diikat dengan ikat pinggang emas yang biasa disebut pending. Perhiasan kepala berupa lempengan seperti bulan sabit, kalung dengan hiasan yang juga berbentuk bulan, dan anting-anting atau biasa disebut kerabu. 4. Pakaian Adat Suku Dawan Pakaian adat Amarisi sub suku Dawan, sumber Suku Dawan dikenal juga dengan nama suku Atoni mendiami pulau Timor di Kabupaten Belu. Sementara orang-orang dari suku Dawan disebut sebagai atoni pah meto yang maknanya adalah orang-orang dari tanah kering’. Hal ini merujuk pada orang-orang suku Dawan yang hidup di pedalaman pulau Timor yang tanahnya sangat kering. Masyarakat suku Dawan sangat menjaga kelestarian adat dan budayanya. Ini tercermin dalam falsafah yang dianutnya yakni feto-mone. Semboyan ini mengandung makna dan filosofi tentang harmoni dan keselarasan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai satu kesatuan. Harmoni ini juga tercermin pada pakaian adatnya. Meskipun terdapat berbagai kesamaan dengan suku lainnya, pakaian adat Dawan memiliki lebih banya aksesoris. Hampir serupa dengan suku Helong, kaum pria dari suku Dawan memakai baju bodo sebagai pakaian atas. Selanjutnya kain tenun seperti selimut dililitkan pada pinggang beserta ikat pinggang. Selain itu para laki-laki suku Dawan biasa membawa alu mama yang berupa tas kain tenunan dengan motif suku Dawan berukuran kecil menyerupai kantong. Tas ini dipakai dengan cara diselempangkan di bahu dengan tali yang juga terbuat dari tenunan. Untuk bagian tali tidak selalu memiliki motif yang berasal dari tenunan karena dapat pula berasal dari susunan manik-manik. Biasanya alu mama ini diisi dengan sirih dan pinang. Tas ini menjadi salah satu aksesoris penting bagi kaum laki-laki suku Dawan tanpa memandang usia dan status sosialnya. Masyarakat suku Dawan, sumber Kemudian untuk aksesoris yang dikenakan adalah kalung emas dengan bandul seperti gong dan muti salak. Dalam bahasa setempat muti salak disebut anahida. Perhiasan ini berupa manik-manik dari batu alam dengan warna khas oranye hingga merah gelap. Konon di masa lampau, Muti salak dapat menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat dan dijadikan sebagai pusaka turun temurun. Aksesoris yang dikenakan pria suku Dawan selanjutnya adalah ikat kepala atau destar yang dipadukan dengan hiasan tiara. Selanjutnya adalah dua buah gelang Timor menjadi pelengkapnya. Sementara untuk pakaian adat wanita berupa sarung tenun yang dikenakan sebagai bawahan, selendang untuk menutup bagian dada, dan kebaya. Sebagai aksesoris untuk hiasan leher, mereka juga mengenakan muti salak, serta habas dengan liontin gong. Kemudian untuk hiasan tangan, kaum prempuan suku Dawan mengenakan sepasang gelang kepala ular. Sebagai anting-anting adalah giwang Kerabu. Tak lupa hiasan kepala khas bulan sabit serta tusuk konde dengan hiasan tiga buah koin. 5. Pakaian Adat Suku Sumba Pakaian adat Sumba, sumber Suku Sumba mendiami pulau Sumba pada empat kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba hingga kini masih memegang tradisi dan budayanya. Demikian pula halnya dengan pakaian yang dikenakan, menjadi salah satu bagian penting dalam kehidupan dan budaya masyarakat suku Sumba. Tak hanya sekedar penutup tubuh, pada masa lampau busana yang dikenakan seseorang menunjukkan status sosial dan posisinya di dalam masyarakat Sumba. Namun saat ini pemilihan busana tidak lagi untuk menunjukkan status sosial seseorang, tetapi lebih kepada tingkatan kepentingan acara yang hendak dihadiri. Tenunan Sumba Tenun ikat Sumba, sumber Salah satu bagian yang paling penting dalam pakaian adat suku Sumba adalah tenunan. Tenunan Sumba menjadi bagian yang terpisahkan dalam berbagai prosesi adat suku Sumba dimana fungsinya tak hanya sebagai pakaian, tetapi juga semacam mata uang yang dipertukarkan. Selain itu, di dalam perkawinan tenunan berfungsi sebagai simbol mas kawin dari keluarga perempuan. Sementara dalam acara pemakaman, tenunan menjadi tanda berkabung. Bahkan tenunan menjadi semacam pengikat atau ucapan terimakasih terkait dengan suatu hutang piutang. Simak pembagian jenis tenunan ikat Sumba dan keterangannya di bawah ini. 1. Hinggi Kain tenun Hinggi, sumber Hinggi adalah berupa lembaran kain yang lebar dan panjang seperti selimut yang diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Hinggi biasanya dibuat berpasangan, satu bagian dililitkan ke pinggul, sementara bagian lainnya disampirkan ke bahu. Motif yang digunakan untuk Hinggi berasal dari hewan lokal seperti ayam jantan, kuda, rusa. Selain itu juga motif lokal Sumba seperti pohon tengkorak dan mamoli penjelasan mengenai mamoli dapat dibaca pada bagian pakaian wanita Sumba. Pengaruh dari luar seperti Tionghoa dan Belanda juga nampak pada motif naga dan singa. Hinggi terdiri dari beberapa jenis yaitu Hinggi Kaliuda, Hinggi Kombu, dan Hinggi Kawuru. 2. Lau Tenun ikat Sumba, sumber Lau adalah tenunan berbentuk sarung yang diperuntukkan bagi kaum perempuan. Sementara untuk motifnya beragam seperti tengkorak, rusa, singa, burung, hingga corak yang dipengaruhi budaya Belanda dan Tionghoa seperti motif berupa bendera tiga warna dan naga. Terdapat beberapa macam Lau yang dibedakan berdasarkan teknik pembuatannya. Jenis-jenis Lau tersebut adalah Lau Kawuru, Lau Pahudu, Lau Mutikau, dan Lau Pahudu Kiku. Pakaian Adat Laki-laki Pakaian adat pria Sumba, sumber Pakaian tradisional untuk kaum pria suku Sumba adalah dua lembar Hinggi yang terdiri dari Hinggi Kombu dan Hinggi Kawuru. Kombu sendiri adalah nama untuk tenunan Sumba yang berwarna merah. Tenunan ikat Sumba dikenal dengan pewarnaan alaminya. Warna merah ini didapat dari akar mengkudu. Sedangkan Kawuru adalah tenunan berwarna biru yang pewarnanya berasal dari dari daun tarum atau kerap juga disebut daun nila. Selanjutnya Hinggi Kombu dililitkan pada pinggul dan diperkuat dengan ikat pinggang kulit, sementara Hinggi Kawuru menjadi pelengkapnya. Hiasan kepala adalah sebuah ikat kepala yang dikenal dengan sebutan tiara patang yang dililitkan dengan teknik tertentu sehingga menghasilkan jambul. Letak jambul ini sendiri sesungguhnya sebagai lambang dengan makna yang berbeda-beda, karenanya posisi jambul dapat disesuaikan dengan makna apa yang ingin dikemukakan oleh penggunanya. Tangan sebelah kiri dihiasi oleh gelang kanata dan muti salak. Sebilah parang atau kabiala yang merupakan senjata tradisional diselipkan di sisi kiri melengkapi busana pria Sumba. Pakaian Adat Perempuan Pakaian adat perempuan Sumba Sementara untuk pakaian adat wanita, kain tenun yang dikenakan berupa Lau Kawuru, Lau Mutikau, Lau Pahudu, dan Lau Pahudu Kiku. Kain tenun dalam bentuk sarung ini kemudian diikatkan melingkari dada yang disebut ye’e. Kaum wanita Sumba juga biasa membawa tas anyaman dari pandan atau kulit kayu yang dinamakan kaleku pamama. Sebagai aksesoris adalah anting-anting yang dikenal dengan nama mamoli atau mamuli. Perhiasan telinga berbentuk belah ketupat ini dapat terbuat dari emas, perak, ataupun kuningan. Mamoli dapat berupa anting polos lobu atau ukiran karagaf dengan ukuran yang cukup besar dan berat. Anting Mamuli, sumber Selain sebagai perhiasan telinga mamoli juga dijadikan liontin. Mamoli merupakan salah satu perhiasan yang penting dan berharga bagi masyarakat suku Sumba. Konon mamoli melambangkan alat reproduksi perempuan sebagai pemberi kehidupan. Selain itu terdapat juga giwang yang terbuat dari emas dan perak yang disebut puli. Perhiasan kepala perempuan Sumba sama dengan perempuan dari suku lainnya di NTT, yakni berupa lempengan berbentuk bulan sabit atau tanduk kerbau yang oleh masyarakat Sumba diberi nama tabelo. Hiasan kepala ini dapat terbuat dari emas ataupun perak. 6. Pakaian Adat Suku Manggarai Pakaian adat NTT, sumber Suku Manggarai mendiami bagian barat pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, dan hidup tersebar di Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai Timur. Flores sendiri terdiri dari 8 kabupaten dengan ibukota-ibukota diantaranya Labuan Bajo, Ruteng, dan Bajawa. Masyarakat Manggarai memiliki beberapa jenis pakaian adat yang digunakan pada waktu berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing. Macam-macam pakaian adat tersebut antara lain pakaian yang dikenakan untuk upacara-upacara adat, berperang, dan pakaian untuk pemain Caci. Permainan Caci adalah berupa permainan rakyat yang juga dikenal sebagai tari perang. Kostum penari Perang Caci. sumber Bagi masyarakat suku Manggarai pakaian tak hanya sekedar berfungsi sebagai penutup tubuh. Lebih dari itu, pakaian adat memiliki memiliki fungsi etik, estetika atau keindahan, dan juga mengandung nilai-nilai religius. Hal ini tercermin pada tenunan Manggarai yang dikenal dengan nama songke. Setiap motif yang ada pada kain songke mengandung makna tersendiri. Kain songke adalah salah satu unsur penting yang wajib dikenakan dalam busana masyarakat adat Manggarai baik pada pria maupun wanita. Pada kaum perempuan Manggarai umumnya pakaian ini terdiri atas kain songke yang dililitkan seperti mengenakan sarung. Selanjutnya adalah balibelo yang berupa perhiasan di kepala yang terbuat dari logam keemasan. Sementara selendang dipakai pada acara pernikahan dan tari. Selain itu kebaya juga menjadi bagian dari busana yang dikenakan oleh kaum perempuan pada upacara adat suku Manggarai. Pakaian adat Manggarai Sementara pakaian adat pria Manggarai terdiri dari kemeja putih lengan panjang dan kain songke. Kemudian dilengkapi dengan ikat kepala yang disebut sapu dengan motif seperti batik atau kopiah bermotif songke sebagai pengganti sapu. Pakaian adat ini dilengkapi dengan selendang bermotif songke yang diselempangkan menyilang. Selanjutnya adalah tubi rapa, berupa manik-manik yang dipasang pada wajah seperti tali helm. Tujuan pemakaian tubi rapa dalam permainan Caci adalah untuk melindungi wajah. 7. Pakaian Adat Suku Lio Tenunan suku Lio, sumber Suku Lio merupakan suku tertua di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebagai suku tertua, masyarakat suku Lio menjaga tradisi yang diwariskan turun temurun. Sebagaimana suku-suku lainnya di NTT, suku Lio juga memiliki kain tenun sendiri yang menjadi bagian dari pakaian adatnya yakni tenun ikat Patola. Sekilas tenun ikat ini menyerupai kain tenun asal India. Tak heran karena tenunan ini memang mendapat pengaruh dari budaya India dan Portugis pada abad ke -16. Pada masa lampu, kain tenun ini sangat istimewa sehingga hanya dikhususkan untuk golongan tertentu saja seperti kepala suku dan keluarga kerajaan. Kain tenun ini bahkan dijadikan penutup jenazah bangsawan dan turut pula dikuburkan bersamanya. Tenun ikat Flores, sumber Tenun ikat Patola adalah ekspresi budaya suku Lio. Konon setiap motif merupakan representasi kehidupan sosial suku ini dari masa ke masa. Selain itu ragam karakteristik lokal juga ditampilkan dalam motif tenunan. Ciri khas dari kain tenun ini adalah dasarnya yang berwarna gelap dengan motif berupa daun, ranting, hewan, dan manusia yang diberi warna merah atau biru. Nama-nama motif tenun ikat ini antara lain nggaja, rajo, dan motif sinde. 8. Pakaian Adat Suku Sikka Pakaian adat NTT, sumber Sikka adalah nama sebuah kabupaten dengan ibukota Maumere yang juga nama suku yang ada di pulau Flores. Salah satu kerajinan asal Sikka yang terkenal adalah tenun ikat dengan beragam motif. Secara tradisional tenun ikat Sikka menggunakan pewarna alami yang berasal dari tumbuhan. Oleh masyarakat Sikka, tenunan ini dijadikan pakaian adat yang dikenakan dalam upacara adat dan keagamaan. Salah satu unsur pakaian adat yang berasal dari tenunan ini adalah kain sarung. Tenunan sarung untuk kaum pria adalah Lipa atau Ragi. Perbedaan kedua tenunan ini terletak pada motif dan warna. Lipa bermotif flora dengan warna-warna yang cerah sedangkan Ragi memiliki motif garis biru dengan warna dasar cenderung gelap. Sementara tenunan sarung yang diperuntukkan bagi kaum perempuan Sikka bernama Utang. Sarung ini dikenakan sebagai penutup tubuh bagian bawah dengan cara dililitkan ke pinggang. Sebagai penutup tubuh bagian atas, pria Sikka mengenakan pakaian seperti kemeja berwarna putih yang biasa disebut labu. Pelengkap pakaian selanjutnya berupa selendang tenun atau lensu sembar yang diselempangkan di dada. Sementara sebagai penutup kepala atau disebut Lesu Widin Tilun adalah berupa destar dikenakan dengan teknik ikatan yang menghasilkan kedua ujung menjuntai di kedua sisi wajah. Penutup kepala suku Sikka, sumber Kaum perempuan juga mengenakan pakaian atas berupa labu yang biasanya terbuat dari sutera dan dikenal dengan nama Labuliman Berun. Namun labu untuk perempuan tidak seperti kemeja pada umumnya karena terdapat modifikasi yakni bagian atas pakaian ini sedikit terbuka. Selendang kaum perempuan atau dong diselempangkan di dada dan kemudian dililitkan ke pinggang. Rambut disanggul dengan bentuk melingkar yang disebut legen dan diperkuat dengan tusuk konde bernama hegin untuk selanjutnya diberi hiasan yang disebut soking. Pada kedua pergelangan tangan dikenakan hiasan terbuat dari gading dan perak/emas yang dikenal dengan nama kalar. 9. Pakaian Adat Suku Kabola Pakaian kulit kayu suku Kabola, sumber Suku Kabola adalah salah satu sub suku yang ada di pulau Alor. Mereka mendiami kampung tradisional Monbang yang merupakan perkampungan asli suku ini. Berbeda dengan suku-suku lainnya di NTT, suku Kabola memiliki keunikan pada pakaian tradisionalnya yang terbuat dari kulit kayu. Selain itu kulit kayu yang digunakan juga memiliki ciri khas yakni berwarna putih dan tidak melalui melalui proses pewarnaan. Pakaian kulit kayu ini berasal dari pohon kayu Ka. Pakaian kulit kayu pria suku Kabola, sumber Dibutuhkan setidaknya satu batang pohon kayu Ka untuk membuat satu pakaian orang dewasa. Bagi kaum perempuan, pakaian kulit kayu ini berupa baju terusan tanpa lengan, sementara untuk pria pakaian kulit kayu hanya sebagai bawahan sedangkan bagian atas bertelanjang dada. Sebagai aksesoris pelengkap adalah berupa tas, gelang dan ikat kepala yang kesemuanya juga terbuat dari kulit kayu. Meskipun pakaian adat suku Kabola terbuat dari kulit kayu, tetapi suku ini tetap memiliki kerajinan tenun sendiri. Motif pada tenunan suku Kabola hampir serupa dengan suku-suku lainnya di pulau Alor. 10. Pakaian Adat Suku Abui Suku Abui, sumber Suku Abui mendiami wilayah Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Salah satu kampung tradisional suku Abui bernama desa Takpala. Sama halnya seperti suku Kabola, Abui adalah sub suku di pulau Alor yang juga dikenal dengan nama-nama lain yakni Barawahing, Barue, atau Namatalaki. Masyarakat Abui sendiri menyebut diri mereka sebagai Abui laku yang artinya adalah orang pegunungan’. Hal ini merujuk pada wilayah kediaman suku Abui yang berada di kawasan pegunungan. Selain kehidupannya yang dikenal dekat dengan alam, suku ini memiliki keunikan berupa kain tenun yang dibuat dengan alat tradisional. Pakaian tradisional suku alor adalah berupa kain sarung dan kain tenun yang mereka buat sendiri. Sementara untuk para penari, pakaian tradisional ini juga dilengkapi dengan atribut berupa gelang kaki. Sedangkan untuk penari pria, mereka mengenakan penutup kepala yang juga terbuat dari tenunan Alor. Demikianlah pakaian adat dari suku-suku yang ada di Nusa Tenggara Timur. Busana adat, termasuk di dalamnya kerajinan tenun ikat dari kepulauan Nusa Tenggara seperti yang berasal dari NTT dan NTB Nusa Tenggara Barat, telah dikenal sejak lama dan menjadi salah satu warisan bernilai tinggi. Beragam pakaian tradisional dan tenunan tersebut adalah ekspresi budaya yang diwariskan turun temurun. Tak hanya sekedar penutup tubuh, pakaian adat mengandung makna dan juga sebagai representasi dari tiap-tiap suku yang ada. Semoga pakaian adat dapat terjaga terus kelestariannya. 403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID c3aNS6KjPqLy6p_nsnhUPwRK2iV4kEIVBa593qy0TriB3CQM0ct06A== Wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki warisan budaya yang begitu beragam, salah satunya adalah warisan budaya pakaian adatnya yang masih dipertahankan hingga kini. Didominasi dengan balutan kain tenun khas NTT yang indah, ada banyak pakaian adat NTT yang memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing. Beragamnya budaya pakaian adat yang dimiliki oleh Nusa Tenggara Timur ini juga dikarenakan beragamnya suku yang mendiami provinsi Nusa Tenggara Timur. Penasaran seperti apa cantiknya busana atau pakaian adat dari Provinsi Nusa Tenggara Timur ini? Berikut 7 pakaian adat NTT yang memiliki keunikan dan khas masing-masing. 7 Pakaian Adat NTT yang Unik dan Mempesona 7 Pakaian Adat NTT yang Unik dan Mempesona Adat Suku Rote Adat Suku Adat Suku Manggarai Adat Suku Adat Suku Sabu Adat Suku Dawan Adat Suku Helong Adat Suku Rote Menurut sejarahnya, Suku Rote yang kini menjadi penduduk asli Pulau Rote adalah orang-orang yang bermigrasi dari Maluku. Selain di Pulau Rote, Suku Rote juga mendiami pulau-pulau lain di NTT seperti Pulau Timor, Pulau Ndao, Pulau Pamana, Pulau Nuse, dan pulau-pulau lainnya. Suku Rote memiliki pakaian adat yang kini menjadi ikon pakaian adat NTT. Pakaian adat NTT dari Rote ini disebut dengan nama Tenun Ikat yang terdiri dari kain tenun dan sering dikombinasikan dengan kemeja putih panjang. Busana ini kemudian ditambahkan penutup dada berupa selendang kain yang bermotif sama dengan kain bawahannya. Hal unik lainnya dari pakaian adat NTT khas Suku Rote ini adalah topi ti’i lingga yang mirip dengan topi ala Meksiko. Topi ini terbuat dari daun lontar kering dan menjadi simbol kewibawaan kaum pria Suku Rote. Adat Suku Sumba Suku Sumba adalah suku dari Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mendiami wilayah Pulau Sumba. Suku Sumba juga memiliki pakaian adat yang cukup sederhana namun terlihat menawan. Pakaian adat NTT untuk laki-laki Suku Sumba dikenal dengan nama hinggi. Hinggi atau kain ini dikenakan sebanyak dua lembar, yaitu hinggi kawuru dan hinggi kombu. Lalu bagian kepalanya dililitkan ikat kepala yang membentuk jambul. Tak lupa pakaian adat NTT dari Sumba ini juga dilengkapi aksesoris seperti gelang dan senjata tradisional. Sementara para wanita Sumba mengenakan kemben bernama ye’e, kain berbentuk sarung, anting-anting, dan hiasan kepala berbentuk bulan sabit. Adat Suku Manggarai Pakaian adat NTT milik Suku Manggarai dikenal dengan nama kain songke. Cara memakai kain songke mirip dengan cara memakai sarung, hanya saja ada bagian-bagian tertentu yang harus dihadapkan ke depan. Kain songke umumnya didominasi warna hitam yang melambangkan keagungan. Setiap motif kain songke juga memiliki makna yang berbeda. Para pria Suku Manggarai umumnya mengenakan kemeja lengan panjang, selendang motif songke, sarung kain songke, dan aksesoris kepala yang bernama sapu. Sementara para wanitanya mengenakan kebaya yang dipadu dengan kain songke, selendang kain, dan aksesoris bernama balibelo. Adat Suku Lio Suku Lio adalah salah satu suku tertua di Flores yang mendiami Kabupaten Ende. Pakaian adat NTT milik Suku Lio bernama ikat patola. Ikat patola adalah kain tenun yang digunakan secara khusus untuk kepala suku dan warga kerajaan. Motif dari ikat patola pun beragam, mulai dari motif dedaunan, motif hewan, hingga motif manusia. Bagi para wanita bangsawan Suku Lio, ikat patola ini ditambahkan hiasan manik-manik atau kulit kerang pada tepi kainnya. Baca juga 8 Alat Musik Khas Nusa Tenggara Timur Adat Suku Sabu Pakaian adat NTT milik Suku Sabu dibedakan menjadi dua, yaitu pakaian untuk pria duntuk wanita. Pakaian untuk pria terdiri dari atasan kemeja putih lengan panjang yang dipadukan dengan bawahan sarung dari kain katun. Kemudian ditambahkan pula selendang yang diselempangkan di bahu dan ikat kepala mahkota tiga tiang. Sementara pakaian untuk wanitanya tampak lebih sederhana, yaitu yaitu kebaya yang dipadukan dengan dua lilitan kain tenun dan diikat dengan ikat pinggang bernama pending. Baca juga 5 Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi Saat ke Labuan Bajo Adat Suku Dawan Pakaian adat NTT yang berasal dari Suku Dawan dinamakan baju aramasi. Baju aramasi yang dikenakan oleh para wanita Suku Dawan ini adalah kebaya yang dipadukan dengan kain tenun sebagai bawahan dan selendang untuk menutupi dada. Kemudian ditambahkan pula aksesoris seperti sisir emas, tusuk konde, dan sepasang gelang berbentuk kepala ular. Sementara baju amarisi yang dikenakan para pria terdiri dari kemeja bodo dan sarung tenun yang diikat pada pinggang. Selain itu baju untuk pria juga dilengkapi aksesoris seperti kalung muti salak, kalung habas, gelang, dan ikat kepala. Adat Suku Helong pinterest Pakaian adat yang dikenakan para wanita Suku Helong merupakan perpaduan atasan berupa kebaya atau kemben dengan bawahan berupa sarung yang diikat menggunakan ikat pinggang emas. Pakaian ini kemudian dilengkapi dengan hiasan kepala berbentuk bulan sabit dan hiasan leher berbentuk bulan. Sementara pakaian adat untuk pria Suku Helong berupa atasan kemeja bodo dengan bawahan selimut lebar. Pakaian adat ini kemudian dilengkapi ikat kepala berupa destar dan perhiasan leher yang dinamakan habas. Itulah tujuh pakaian adat NTT dari masing-masing suku yang mendiami wilayah NTT. Sangat unik dan menawan bukan? Selain pakaian adatnya, masih ada banyak hal lainnya yang bisa Sahabat temukan di pedalaman Indonesia Timur. Klik di sini untuk mengenal lebih jauh pedalaman Indonesia. Sumber artikel Pakaian adat NTT – Nusa Tenggara Timur adalah provinsi yang terletak di bagian timur Kepulauan Nusa Tenggara. Di provinsi ini, ada sekitar 7 suku, yaitu suku Sabu, Suku Helong, Suku Sumba, Suku Dawan, Suku Rote, Suku Manggarai, dan Suku Lio. Dengan adanya tujuh suku yang berbeda, tak heran jika NTT menjadi salah satu provinsi yang kaya akan kebudayaan. Salah satunya adalah beragam jenis pakaian adat dari setiap suku. Berdasarkan sukunya, beberapa pakaian adat NTT bahkan mempunyai latar belakang, keanekaragaman, serta dihiasi dengan komponen yang berbeda. Nah, dalam artikel ini kita akan membahas tentang jenis-jenis pakaian adat Nusa Tenggara Timur dan ciri khasnya masing-masing. Jenis-Jenis Pakaian Adat NTT dan Ciri Khasnya1. Pakaian Adat Suku Rotea. Pakaian adat Pria Suku Roteb. Pakaian adat wanita Suku Rote2. Pakaian Adat Suku Dawana. Pakaian adat wanita Suku Dawanb. Pakaian adat pria Suku Dawan3. Pakaian Adat Suku Helonga. Pakaian adat wanita Suku Helongb. Pakaian adat pria Suku Helong4. Pakaian Adat Suku Sabua. Pakaian adat pria Suku Sabub. Pakaian adat wanita Suku Sabu5. Pakaian Adat Suku Sumbaa. Pakaian adat pria Suku Sumbab. Pakaian adat wanita suku Sumba6. Pakaian Adat Suku Lio7. Pakaian Adat Suku Manggarai8. Pakaian Adat Suku Sikkaa. Pakaian adat wanita Suku Sikkab. Pakaian adat pria suku SikkaBuku TerkaitMateri Terkait Pakaian Adat Jenis-Jenis Pakaian Adat NTT dan Ciri Khasnya 1. Pakaian Adat Suku Rote Suku Rote merupakan suku yang bermigrasi dari pulau Seram, Maluku, menuju ke pulau Rote. Sekarang mereka menjadi penduduk asli pulau tersebut. Selain itu, suku Rote juga mendiami beberapa pulau lain seperti pulau Timor, pulau Pamana, pulau Ndao, pulau Manuk, pulau Heliana dan pulau Landu. Suku Rote memiliki pakaian adat yang disebut tenun ikat. Pakaian ini mempunyai model yang unik serta sejarah dan nilai filosofis yang tinggi. Karena itu, pakaian adat suku Rote digunakan sebagai ikon daerah Nusa Tenggara Timur. Awalnya, pakaian adat suku Rote terbuat dari serat-serat pohon. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat suku Rote mengganti bahan pakaian mereka dengan kain kapas. Mereka memanfaatkan lahan-lahan di sekitar rumah untuk menghasilkan kapas yang kemudian diolah menjadi kain kapas. Keunikan dan ciri khas pakaian adat suku Rote terdapat pada penutup kepala atau topi yang disebut Ti’i Langga. Ti’i Langga ini bentuknya mirip seperti topi Sombrero yang dipakai oleh masyarakat Meksiko. Selain itu, topi yang terbuat dari daun lontar ini lebih tahan lama dan memiliki variasi bentuk yang menarik. Alasannya karena daun lontar dapat berubah warna menjadi kekuningan atau coklat jika sudah kering kering. a. Pakaian adat Pria Suku Rote Bagi kaum pria Suku Rote, daun lontar ini dianggap sebagai simbol kewibawaan dan kepercayaan diri. Ti’i Langga juga menjadi salah satu aksesoris utama dalam pakaian adat suku Rote. Pakaian adat Tenun Ikat dari suku Rote terdiri dari kombinasi kemeja putih lengan panjang dan sarung tenun ikat berwarna gelap. Nantinya sarung tersebut dipakai di bagian bawah. Para laki-laki biasanya menambahkan selendang kain bermotif di bagian dada dan bahu. b. Pakaian adat wanita Suku Rote Sementara para perempuan biasanya memakai aksesoris khas, yaitu perhiasan berbentuk bulan sabit. Lalu ada juga beberapa jenis aksesoris lain seperti kain selempang, pendi atau ikat pinggang yang terbuat dari emas/perak, serta Habas atau perhiasan yang dipakai di bagian leher. Biasanya, masyarakat suku Rote menggunakan pakaian ini dalam acara-acara besar dan penting, seperti pernikahan keluarga mereka. Selain pakaian adat, pulau Rote juga menyimpan keindahan alam eksotis yang menarik untuk dikunjungi. Kamu bisa melihat beberapa contohnya dalam buku NTT Hidden Paradise Kupang, Soe, Rote, Alor yang ditulis oleh Rita Harahap. 2. Pakaian Adat Suku Dawan Suku Dawan merupakan suku yang tinggal di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur seperti Kupang, Timor dan Belu. Masyarakat suku Dawan mempunyai pakaian adat yang bernama Amarasi. Baju Amarasi ini terdiri dari beberapa komponen, mulai dari kebaya, selendang yang dipakai untuk menutupi bagian dada serta sarung tenun untuk bawahan. a. Pakaian adat wanita Suku Dawan Biasanya, para wanita memakai baju Amarasi dalam perayaan besar. Tak hanya itu saja, para wanita suku Dawan menambahkan beberapa macam aksesoris seperti tusuk konde yang berhiaskan emas, sepasang gelang berbentuk kepala ular dan sisir emas. b. Pakaian adat pria Suku Dawan Sementara itu, baju Amarisi khusus pria terdiri dari kemeja bodo dan sarung tenun yang diikatkan pada pinggang. Umumnya para pria suku Dawan juga menggunakan beberapa aksesoris seperti kalung habas, gelang timor, kalung muti salak dan hiasan tara pada bagian kepala. 3. Pakaian Adat Suku Helong Suku Helong adalah suku yang mayoritas penduduknya berasal dari pulau Timor. Masyarakat suku ini kebanyakan tinggal di wilayah Kupang Tengah dan Kupang Barat. Namun, ada juga yang dapat dijumpai di pulau Flores dan Pulau Semau. Pakaian adat suku Helong terbagi menjadi dua jenis, yaitu pakaian adat khusus wanita dan pakaian adat khusus laki-laki. Biasanya, masyarakat suku Helong menggunakan pakaian adatnya dalam acara-acara adat. a. Pakaian adat wanita Suku Helong Pakaian adat khusus wanita suku Helong terdiri dari berbagai komponen seperti kebaya atau kemben dan sarung sebagai bawahan yang diikat dengan ikat pinggang emas pending. Selain itu, ada tambahan beberapa aksesoris seperti hiasan kepala yang berbentuk bulan sabit bula molik, kalung dan anting-anting berbentuk bulan kerabu, serta hiasan leher yang berbentuk bulan. b. Pakaian adat pria Suku Helong Untuk laki-laki, pakaian adatnya terdiri dari atasan kemeja bodo yang dipadukan dengan bawahan selimut lebar. Lalu, ada berbagai macam aksesoris yang biasa digunakan oleh para laki-laki seperti ikat kepala destar dan perhiasan leher habas. 4. Pakaian Adat Suku Sabu Suku Sabu adalah salah satu kelompok etnis yang tinggal di pulau Sawu dan pulau Raijua, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat suku Sabu mempunyai pakaian adat yang terbagi menjadi dua jenis yaitu pakaian adat khusus pria dan pakaian adat khusus wanita. a. Pakaian adat pria Suku Sabu Bagi para pria, pakaian adat ini biasanya terdiri dari kemeja putih lengan panjang yang dipadukan dengan bawahan sarung kain katun. Lalu, ada berbagai macam aksesoris yang biasa digunakan seperti selendang yang ditaruh di bagian bahu, ikat kepala berupa mahkota tiga tiang yang terbuat dari emas, sabuk berkantong, kalung muti salak, perhiasan leher habas dan sepasang gelang emas. b. Pakaian adat wanita Suku Sabu Untuk pakaian adat khusus wanita, umumnya cukup sederhana dibanding dengan pria. Kaum wanita Suku Sabu biasanya menggunakan kebaya dan dua buah kain tenun berbentuk sarung dengan dua lilitan dan ikat pinggang pending. Pakaian adat suku Sabu biasanya dipakai oleh ketua adat dan masyarakat saat menghadiri acara adat, termasuk saat melakukan ritual pemakaman. 5. Pakaian Adat Suku Sumba Suku Sumba adalah suku yang tinggal di Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur. Suku ini mempunyai pakaian adat yang bernama Hinggi. Hinggi yang digunakan ini terdiri dari dua lembar, yaitu Hinggi Kombu dan Hinggi Kawuru. a. Pakaian adat pria Suku Sumba Untuk bagian kepala, kaum pria suku Sumba melengkapinya dengan ikat kepala Tiara Patang yang dililitkan atau dibentuk seperti jambul. Posisi dari jambul ini berada pada bagian depan atau samping kanan dan kiri, tergantung pada simbol yang ada di jambulnya. Selain itu, pakaian adat suku Sumba untuk pria juga dilengkapi dengan berbagai macam aksesoris seperti senjata tradisional kabiala yang ditaruh di bagian ikat pinggang. Bagi masyarakat suku Sumba, Kabiala dianggap sebagai lambang dari keperkasaan. Lalu, pada bagian pergelangan tangan kiri dipasangkan perhiasan yang disebut Muti Salak serta Kanatar. Perhiasaan ini menyimbolkan strata sosial dan kemampuan ekonomi pemakainya. b. Pakaian adat wanita suku Sumba Untuk pakaian adat yang dikenakan oleh kaum wanita biasanya berupa kain yang berbeda-beda jenisnya, seperti Lau Kawar, Lau Pahudu, Lau Mutikau dan Lau Pahudu Kiku. Kain-kain ini digunakan hingga setinggi dada serta pada bagian bahu ditutup menggunakan Taba Huku yang berwarna senada dengan kain yang dikenakan. Lalu, di bagian kepala wanita suku Sumba memakai Tiara berwarna polos yang diikatkan dan dilengkapi dengan Hai Kata Tiduhai. Selanjutnya pada bagian dahi memakai perhiasan logam Maraga, di bagian telinga memakai perhiasaan yang disebut mamuli serta memakai kalung emas. Pemakaian semua aksesoris tersebut membuat penampilan wanita suku Sumba menjadi terlihat semakin istimewa. Pakaian adat suku Sumba biasanya digunakan pada acara-acara adat atau peristiwa besar seperti upacara adat, pesta perayaan dan sejenisnya. Pakaian adat suku Sumba sekarang cenderung menekankan pada tingkat kepentingan dan juga suasana lingkungan suatu kejadian dibanding hierarki status sosial. Akan tetapi masih ada beberapa perbedaan kecil. Contohnya seperti busana pria bangsawan yang terbuat dari kain-kain serta aksesoris yang lebih halus daripada pria dari kalangan rakyat biasa. Namun secara keseluruhan, komponen-komponennya terlihat sama. 6. Pakaian Adat Suku Lio Suku Lio adalah suku tertua yang berada di Flores, mereka bisa ditemui di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Suku ini salah satu suku yang sangat memegang teguh tradisi dan budaya warisan para leluhur, termasuk pakaian adatnya. Masyarakat suku Lio mempunyai pakaian adat yang hingga saat ini masih dilestarikan bernama Tenun Ikat Patola. Ikat patola sendiri merupakan kain tenun yang dipakai secara khusus oleh kepala suku dan warga kerajaan. Pakaian adat ini mempunyai ciri khas motif yang beragam seperti motif hewan, dahan, dedaunan, ranting hingga motif manusia. Ukurannya terbilang kecil dengan bentuk geometris yang disusun membentuk jalur-jalur berwarna biru atau merah yang didasari kain berwarna gelap. Motif-motif tersebut ditenun dengan menggunakan benang berwarna merah atau biru pada kain yang berwarna gelap. Wanita dari kalangan bangsawan biasanya menambahkan manik-manik atau kulit kerang sebagai hiasan pada bagian tepinya. Ikat patola ini terbilang cukup sakral sebab sering digunakan sebagai penutup jenazah para kepala suku, raja dan bangsawan. Selain itu, pakaian adat ini biasa digunakan sebagai pakaian kebesaran pada saat ritual atau upacara adat, seserahan saat hajatan, upacara penghormatan kepada sang pencipta, barang jaminan, busana kebesaran, memakaikan kepada anak dan menantu serta bukti kemampuan keterampilan menenun anak gadis sebagai persyaratan menikah. 7. Pakaian Adat Suku Manggarai Manggarai merupakan suku yang tinggal di wilayah Nusa Tenggara Timur. Mereka mempunyai pakaian adat dengan nilai filosofis tinggi, yaitu kain Songke. Kain Songke adalah kain yang wajib digunakan oleh para wanita suku Manggarai dengan cara pemakaian yang mirip seperti sarung. Akan tetapi, pemakaiannya tidak boleh dilakukan secara sembarangan sebab ada beberapa bagian yang harus menghadap ke arah depan. Kain Songke didominasi oleh warna hitam yang melambangkan keagungan dan kebesaran suku Manggarai. Selain itu, ada juga motif-motif lain pada kain Songke, masing-masing motif mempunyai makna yang berbeda-beda. Contohnya seperti kain Songke dengan motif wela kaleng. Motif ini melambangkan ketergantungan manusia dengan alam. Ada juga kain Songke bermotif Ranggong yang melambangkan kerja keras serta kejujuran. Lalu ada motif Su’i yang melambangkan bahwa segala sesuatu memiliki batasannya. 8. Pakaian Adat Suku Sikka Suku Sikka merupakan sebuah komunitas adat yang tinggal di Kabupaten Sikka, Flores Timur Tengah, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Suku Sikka memiliki pakaian adat yang sudah terpengaruhi oleh budaya luar, seperti Bugis, Portugis, Cina, Belanda, Arab, dan India. Pakaian adat suku Sikka dibagi menjadi dua jenis, yaitu pakaian adat khusus wanita dan pakaian adat khusus laki-laki. Dulu, pakaian adat suku Sikka dibedakan berdasarkan tingkatan sosial, yaitu bangsawan dan masyarakat umum. Namun sekarang, tradisi ini sudah ditinggalkan sehingga tidak ada lagi perbedaan dalam pakaian adatnya. Kecuali pada tingkat kehalusan tenunan, jahitan, dan juga ukiran perangkat perhiasannya. a. Pakaian adat wanita Suku Sikka Untuk kaum wanita, pakaian adat ini terdiri dari penutup badan yang berupa Labu Liman Berun, bentuknya seperti kemeja berlengan panjang dan terbuat dari sutera. Labu Liman Berun wanita sedikit terbuka di bagian pangkal leher agar memudahkan saat pemakaiannya. Selain itu, bentuk polanya juga tidak terlalu menyerupai kemeja atau blus yang berkancing di bagian depannya. Sementara di bagian atasnya diselempangkan selendang yang melintang sampai ke dada. Lalu di bagian bawahnya menggunakan kain sarung khusus wanita, yaitu utan lewak. Kain sarung ini dihiasi dengan beragam flora dan fauna dalam lajur-lajur bergaris. Utan lewak sendiri berarti kain tiga lembar yang berwarna dasar gelap dengan paduan-paduan warna merah, coklat, putih, biru, dan kuning secara melintang. Warna-warna kain wanita ini melambangkan berbagai suasana hati atau kekuatan-kekuatan magis. Di bagian kepala, ada hiasan berupa konde atau sanggul yang terbuat dari ukiran berwarna keemasan. Saat ini ada beberapa variasi lagi untuk hiasan kepala kaum wanita yang dipengaruhi oleh suku-suku lainnya. Perhiasaan lainnya yang digunakan oleh kaum wanita adalah gelang kalar yang dibuat dari gading dan perak. Penggunaannya tergantung peristiwa dan upacara adat, namun jumlah kalar gading dan perak biasanya genap. Seperti dua gading dan dua perak di setiap tangan. Kaum ningrat biasanya menggunakan lebih banyak kalar, namun jumlahnya tetap genap. Seperti enam, delapan, sepuluh, dan seterusnya. Perhiasan lain yang sering digunakan oleh kaum wanita adalah kilo yang tergantung pada telinga. b. Pakaian adat pria suku Sikka Pakaian adat kaum laki-laki Suku Sikka umumnya terdiri dari kain penutup badan dan juga penutup kepala. Untuk penutup badan, biasanya mirip seperti kemeja gaya barat yang bertangan panjang dengan warna putih. Hanya saja, ada tambahan berupa selembar lensu sembar yang diselendangkan di bagian dada. Lensu sembar ini memiliki corak flora atau fauna dan diikat dengan teknik ikat lungsi. Lalu di bagian pinggangnya memakai utan atau utan werung. Utan werung adalah sejenis sarung berwarna gelap seperti biru tua atau hitam dengan garis biru melintang. Lalu di bagian kepalanya ada penutup kepala yang terbuat dari kain batik soga yang digunakan dengan pola ikatan tertentu. Perhiasan pada kaum pria salah satunya adalah keris yang disisipkan pada pinggang sebagai pertanda keperkasaan dan juga kesaktian. Demikian pembahasan tentang pakaian adat Nusa Tenggara Timur NTT. Semoga semua pembahasan di atas bermanfaat sekaligus bisa menambah wawasan kamu. Jika ingin mencari buku tentang daerah-daerah di Indonesia, maka kamu bisa mendapatkannya di Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi LebihDenganMembaca. Penulis Gilang Oktaviana Putra Rujukan Udi Sukrama dan Otong Lesmana 2018 Pakaian Adat, Senjata Tradisional dan Rumah Adat Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur Apri Subagyo 2017 Mengenal Pakaian Adat Nusantara ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien

pakaian adat sumba timur